KI Purbalingga yang Tak Akan Terlupa


Ini adalah Kelas Inspirasi pertama saya di tahun 2018, sekaligus yang ketiga dari rangkaian perjalanan saya menjadi relawan di Kelas Inspirasi. Kabupaten Purbalingga menjadi pilihan. Alasan utamanya tentu saja agar bisa sekalian mudik, sebab Purbalingga adalah kampung halaman Bapak.

Sebelum dinyatakan lolos sebagai relawan dokumentator, saya sempat menghubungi panitia lokal untuk mengundurkan diri dari proses rekruitmen. Ada beberapa pertimbangan mengapa akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri lebih dulu ketimbang nanti tak dapat hadir di Hari Inspirasi bila akhirnya dinyatakan lolos. Namun, ketika hari pengumuman penerimaan relawan tiba, saya tak sanggup untuk tidak kepo. Saya tetap membuka daftar relawan dokumentator yang terpilih. Tak disangka, rupanya nama saya tetap muncul diantara sekian puluh nama relawan yang lolos seleksi. Wah, memang ditakdirkan harus berangkat ya? Hmmm, baiklah bila memang sudah dipercaya untuk tetap bergabung.

IMG_7106-01

Seperti biasa, virtual meeting pun segera berlangsung beberapa hari setelah hari pengumuman. Di grup Whatsapp yang digawangi oleh Kak Helsa selaku fasilitator, saya menemukan tak ada nama relawan yang sudah saya kenal. Nama-nama yang muncul adalah deretan kawan baru. Padahal dari daftar relawan terpilih, ada lebih dari lima nama yang pernah satu kelompok KI dengan saya. Harapan awal saya sebenarnya bisa satu kelompok dengan salah satu relawan yang sudah dikenal. Tapi nyatanya saya diminta untuk menambah kenalan baru. Seru nih, pikir saya. Artinya akan bertambah luas pula jaringan persaudaraan yang saya punya.

Virmeet yang berlangsung setiap malam yang dikomandoi oleh Kak Imam terasa agak-agak hambar. Kala itu, beberapa relawan sering tak menyuarakan pendapat dan/atau masukannya, yang membuat virmeet berujung pada keputusan yang ‘nggantung’. Padahal tahu sendiri rasanya digantung ‘tuh gimana. Sakit cin!

Saya sebisa mungkin tetap aktif walaupun kadang berasa seperti ngobrol sama orang itu-itu lagi. Padahal jumlah anggota grup ada lebih dari lima belas orang. Namun, saya tetap stay positive thinking. Setiap relawan pasti mempunyai kesibukannya masing-masing, atau memang dasarnya mereka lebih nyaman menjadi silent reader. Yekan? Sing ngroso rak sah nesu lho. Hihihi.

Pembicaraan mengenai Hari Inspirasi pun sampai pada pembahasan desain banner dan masalah penginapan. Qodarullah, kelompok SDN 2 Kutabawa tidak memiliki relawan yang jago di bidang desain. Blas gak ono sing iso. Hahaha. Mendapati kenyataan tersebut, saya mendadak teringat dengan Ibun Sakha. Seingat saya, dia pernah membuat desain banner untuk kegiatan Institut Ibu Profesional. Dengan segera, saya chat Mbak Yendy untuk menanyakan kesanggupannya menolong kelompok kami. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan kepastiannya. Mbak Yendy menyatakan sanggup membantu kami. Hore!

IMG_7387-01

Kemudian tentang masalah penginapan. Ada sedikit miss communication antara saya dan Kak Helsa. Entah ini Kak Helsa menyadari atau tidak, tapi kalau saya sih betul-betul menyadari. Hehehe.

Ketika itu, saya menanyakan padanya perihal lokasi sekolah, apakah dekat dengan basecamp pendakian gunung Slamet atau tidak. Kemudian Kak Helsa menjawab, “Wah kalau dari basecamp sih jauh banget Kak jaraknya.” Hmmm, padahal kalau jaraknya masih terbilang dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, saya ingin menawarkan rumah Lik Yati, seorang kerabat yang kebetulan tinggal di dekat pos pendakian. Tapi rupanya Kak Helsa menginfokan bahwa jaraknya cukup jauh, maka saya pun mengurungkan niat diri tersebut.

Selang satu atau dua hari kemudian, Kak Helsa tiba-tiba memberi wacana pada kami bahwa ia telah menghubungi Bu Rahma, selaku pihak pemilik basecamp gunung Slamet, agar bisa memberikan kami tumpangan untuk menginap. Kak Helsa bercerita bahwa Bu Rahma sangat welcome, bahkan untuk masalah konsumsi pun bisa memesan padanya.

Membaca keterangan yang Kak Helsa sampaikan, saya sontak mengeryitkan dahi. Lah, bukannya kemarin Kak Helsa bilang bahwa jarak antara basecamp dan sekolah ‘jauh banget’ ya? Kenapa malah sekarang kita suruh menginap di basecamp? Tahu begitu kan mending menginap sekalian saja di rumah Lik Yati. Wong jarak rumah Lik Yati dan basecamp hanya beberapa puluh meter saja.

Begitu menyadari kenyataan hidup yang sangat pahit tersebut, saya lantas buru-buru menyela informasi yang Kak Helsa berikan. Saya sampaikan di forum bahwa lebih baik menginap di rumah kerabat saya saja. Selain lokasinya yang lebih private, tidak berbaur dengan para pendaki, menginap di rumah Lik Yati tentu akan membuat Lik Yati sekeluarga merasa bungah karena dipercaya sebagai tempat kami beristirahat.

Singkat cerita, saya segera menghubungi Kak Helsa setelah memastikan bahwa pihak keluarga Lik Yati sudah mengetahui bahwa saya dan teman-teman akan menumpang menginap di kediaman beliau. Kak Helsa merespon kabar baik ini dengan gembira. Dengan segera ia menyampaikan informasi ini kepada forum. Alkhamdulillah, problem penginapan pun bisa teratasi.

***

Diskusi di grup Whatsapp masih tetap berlangsung setiap hari, setiap malam. Meski begitu, seperti yang telah saya ceritakan di awal, banyak keputusan dari virmeet yang dirasa masih menggantung alias kurang fix. Masalah closing ceremony, transportasi para relawan ke lokasi HI, tentang media cita-cita, dan tentang ukuran name tag siswa, adalah beberapa di antaranya. Qodarullah, Kak Helsa sempat beberapa kali tak nampak, atau hanya nongol-nongol sebentar di forum. Fasilitator yang lain, Kak Andi dan Kak Anif, pun ikut-ikutan tak muncul, padahal Kak Imam selaku ketua geng sudah japri keduanya agar bisa lebih aktif di grup. Ah, lagi-lagi saya stay positive thinking. Mereka pasti memiliki urusan yang lebih penting ketimbang stand by menyimak diskusi grup.

Mendekati hari H, problem lain kembali muncul, tentang media cita-cita. Sebenarnya, ada banyak masukan perihal media cita-cita ini. Namun, anggota kelompok kami seakan masih galau untuk memutuskan media mana yang paling cocok. Beberapa ada yang memberi saran agar media yang dipakai adalah media yang memungkinkan kita melihat dan membaca cita-cita yang adik-adik tulis. Media semacam ini tentu lebih cocok menggunakan banner bergambar pohon, laut, atau pesawat cita-cita. Tapi karena anggota tim menyadari bahwa tak ada di antara kami yang sanggup membuat desain banner, maka usulan mengenai banner cita-cita pun hampir tak menemukan titik kepastian. Saya yang notabene juga setuju dan lebih interest dengan banner sebagai media cita-cita pun akhirnya menawarkan diri untuk membuat desain banner pohon cita-cita. Bermodalkan tips dan trik membuat desain yang diajarkan Mbak Yendy, saya nekat mencoba membuat desain itu sendiri. Hehehe.

Malamnya, saya memulai eksekusi membuat desain banner pohon cita-cita. Dengan tips yang Mbak Yendy berikan, saya seperti tak menemukan kesulitan membuat desain tersebut. Wow, rupanya nggak susah-susah amat ya membuat desain banner! Hihihi. Kalau begini sih, bisa lah besok-besok bantu buatkan desain banner kalau ikutan KI lagi, pikir saya. Kurang dari tiga jam, desain pohon cita-cita pun tuntas diselesaikan. Tak masalah meski harus sedikit begadang sampai jam dua pagi. Hal tersebut saya lakukan sebagai dedikasi saya pada Kelas Inspirasi Purbalingga. Ceileh.

***

Satu hari menjelang Hari Inspirasi pun tiba. Saya yang sudah berada di Cilacap setelah melalui perjalanan lumayan jauh dari Depok menaiki kereta berdua saja dengan Launa (cerita tentang naik kereta bersama Launa akan saya kisahkan di judul yang lain) memilih tidak menghadiri briefing yang diadakan Jumat pagi. Kawan-kawan yang lain nampaknya juga berhalangan hadir. Anggota tim kebanyakan baru akan tiba di Purbalingga pada hari Jumat sore dan malam, sebagian ada yang tiba hari Sabtu pagi, atau pada saat hari H.

Sebelum memulai perjalanan dari Cilacap ke Kutabawa, lokasi dilaksanakannya Hari Inspirasi, saya memastikan banner KI dan banner pohon cita-cita tak lupa untuk dibawa. Kamera dan segala printilannya juga tak boleh terlupa. Sekitar pukul lima sore, kami bertolak menuju rumah Lik Yati dengan mengangkut aneka logistik dan seluruh anggota keluarga, yaitu Bapak, Ibu, Mbah Uyut, Launa, dan tentu saja saya. Serasa liburan keluarga jadinya. Hihihi. Mulanya ada Kak Laili dan dua orang temannya yang berencana menumpang mobil Bapak menuju Kutabawa. Sayangnya, Kak Laili ternyata salah membaca jadwal kedatangan kereta yang ia naiki. Alhasil, ia dan dua temannya batal menumpang mobil kami. Pada akhirnya, justru Kak Nur-lah yang ikut menumpang, sebab travel yang ia naiki dari Temanggung tiba di jam yang hampir bersamaan dengan kedatangan saya sekeluarga di Purbalingga. Setelah Kak Nur naik, kami sempat berkeliling sebentar untuk mencari sterofoam yang akan digunakan Kak Nur sebagai media mengajar esok hari. Seharusnya Kak Helsa-lah yang mendapat amanah untuk membelikan sterofoam Kak Nur. Tapi qodarullah, Kak Helsa lupa membelikan. Hihihi.

Perjalanan menuju desa Kutabawa mulai ditemani kabut tebal ketika mobil kami sudah melewati kecamatan Karangreja. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam, jauh dari prediksi saya bahwa kami bisa tiba di Kutabawa selepas magrib. Sudah ada Kak Alfi dan Kak Imam yang telah tiba lebih dulu di sana. Mereka berdua memilih untuk menunggu di basecamp Bu Rahma sembari menunggu rombongan kami tiba. Duh, mereka berdua pasti ‘krik-krik banget’ dan kelaparan di basecamp. Sabar ya Kak, santap malam segera datang.

Sekitar pukul setengah sembilan malam, sampailah kami di rumah Lik Yati. Buru-buru kami menurunkan seluruh perbekalan dari dalam mobil. Mulanya saya dan Kak Nur berencana akan menyusul Kak Alfi dan Kak Imam ke basecamp Bu Rahma. Tapi, menantu Lik Yati (yang saya tidak hapal siapa namanya) rupanya telah lebih dulu berangkat menuju basecamp.

Beberapa menit kemudian, menantu Lik Yati tersebut tiba lagi di rumah. Saya menanyakan padanya apakah ada teman-teman saya di basecamp Bu Rahma. Beliau menjawab, ada. Wah, alkhamdulillah, aman kalau begitu, batin saya.

Tapi, kegundahan itu menghampiri ketika sudah lebih dari lima belas menit tak ada tanda-tanda kemunculan Kak Alfi dan Kak Imam di rumah Lik Yati. Saya jadi cemas, ini tadi menantu Lik Yati ketemu dengan orang yang saya maksud atau bukan ya? Kok saya jadi ragu. Khawatirnya, mereka berdua nyasar saat berjalan menuju kemari. Berhubung saya terbilang tidak terlalu lancar berbahasa Jawa alus (kalau basa ngapak yang nyong-nyong sih fasih, hahaha), saya memilih tidak menanyakan hal tersebut pada Lik Yati. Saya langsung meminta ijin untuk pinjam motor saja, dan berangkat menuju ke basecamp bersama dengan Kak Nur.

IMG_7285-01

Dalam perjalanan menuju basecamp, lagi-lagi kami menemukan kebingungan. Ini basecamp Bu Rahma yang sebelah mana? Menantu Lik Yati bilang sih rumahnya tak begitu jauh setelah perempatan jalan. Seharusnya di sekitar sini, tapi kok sepi. Atau jangan-jangan, basecamp yang dimaksud adalah basecamp yang dekat dengan gerbang pendakian? Maka, tanpa pikir panjang, ke sanalah motor kami dilajukan.

Sampai di basecamp dekat dengan gerbang pendakian, kami langsung menanyakan pada beberapa muda-mudi yang ada di sana. Dan jawaban yang kami terima, zonk. Tidak ada tamu bernama Imam dan Alfi yang ada di basecamp itu. Alih-alih langsung melanjutkan pencarian Kak Imam dan Kak Alfi, Kak Nur sempat-sempatnya pinjam keril salah satu pendaki di situ dan minta difotoin di depan pintu basecamp. Wuahahaha. Kelakuan.

Setelah beberapa kali jepret, kami kembali turun ke bawah. Perlahan kami melihat kanan kiri untuk menemukan basecamp Bu Rahma. Kami pun akhirnya berhenti di sebuah rumah di kanan jalan dari arah kami tiba, yang menurut feeling kami adalah basecamp Bu Rahma. Dan rupanya.. Jeng jeng.. Benar dong tebakan kami. Hore! Ini dibuktikan dengan banner yang terpasang di depan warungnya: Basecamp Bu Rahma. Walah, ternyata di sini. Kocaknya adalah basecamp ini adalah basecamp yang dulu pernah saya dan Kak Nur singgahi kala kami mendaki gunung Slamet beberapa tahun silam. Wkwkwk. Sesaat kami, lebih tepatnya saya, merasa dudul sekali. Bagaimana tidak, sudah pernah kemari tapi basecamp Bu Rahma saja tidak ingat. Ini menandakan bahwa usia saya memang sudah tak lagi muda. Hahaha.

Dengan segera kami memasuki bangunan tersebut, melongok-longok ke dalam untuk menemukan dua sosok manusia maha penting yang kami cari-cari keberadaannya sedari tadi. Faktanya, bukan Kak Imam dan Kak Alfi yang kami temukan, melainnya dua orang pendaki laki-laki yang sedang beristirahat menunggu esok hari untuk memulai pendakian.

 

“Oh, mereka. Baruuu saja tadi keluar, Mbak. Ini barusan mereka di sini nih, lagi ngemil sama ngeluarin gulungan-gulungan merah putih. Nih cemilannya, itu helmnya,” ujar salah satu pendaki ketika kami menanyakan keberadaan Kak Imam dan Kak Alfi.

Walah, kurang cepet satu menit ini mah! Gara-gara siapa ya kedatangan kami kurang cepat? Sebelum saya menodong Kak Nur, ia rupanya lebih dulu mengakui. Hihihi.

Saking bingungnya menganalisa keberadaan Kak Imam dan Kak Alfi, kami akhirnya berinisiatif membuat denah menuju rumah Lik Yati. Kami meminta pulpen dan kertas pada mas-mas pendaki. Pulpennya ada, tapi kertas tak punya.

“Pakai tisu mau, Mbak?”

Wkwkwk boleh deh boleh. Tak ada rotan akar pun jadi. Saya pun menggambar denah sederhana untuk memudahkan Kak Imam dan Kak Alfi bila nanti membaca coretan ini. Setelah rampung, kami berdua berpamitan dan segera kembali ke rumah Lik Yati.

***

Ngomong-ngomong, kenapa saya jadi panjang lebar dan super detail begini ya menyusun ceritanya? Hahaha. Sampai dengan paragraf ini, sudah masuk halaman ke lima lho. Walah, bisa boring ini yang baca. Wekekek.

Singkat cerita, Hari Inspirasi Purbalingga 1 di SDN 2 Kutabawa kemarin berjalan dengan cukup lancar meski harus merelakan banner pohon cita-cita yang ternyata tidak terbawa keluar dari mobil ketika Bapak menurunkan seluruh muatan. Sedangkan Bapak sudah kembali pulang ke Cilacap karena ada kegiatan di kantornya. Saya menduga, banner-nya merosot ke bawah jok mobil ketika Bapak menata ulang muatan sebelum berangkat ke Kutabawa. Phew! Saya teramat menyesal sebenarnya, karena tidak kepikiran untuk mengecek ulang barang bawaan malam harinya.

Salah satu yang paling berkesan dari KI Purbalingga ini adalah perjalanan menuju sekolah SDN 2 Kutabawa. Sembari berjalan kaki dari rumah Lik Yati, kami disuguhi pemandangan desa yang masih sangat asri dengan latar gagahnya gunung Slamet. Sebelum ke sekolah, kami juga menyempatkan diri untuk trekking sedikit menuju gerbang pendakian gunung Slamet. Tujuan utamanya apa? Tak lain dan tak bukan, tentu saja untuk foto-foto. Hihihi.

IMG_7088-01

Mengikuti Kelas Inspirasi untuk yang ketiga kalinya sebagai relawan dokumentator, lama-lama membuat saya berkeinginan untuk menjajal peran baru sebagai relawan pengajar. Hati ini serasa terpanggil untuk ikut memperkenalkan profesi yang saya miliki. Dengan menjadi relawan pengajar, tentu akan membuka kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dengan para siswa. Saya bisa mengetahui seberapa tertariknya mereka dengan kedatangan kami, dan juga seberapa besarnya semangat mereka untuk tetap melanjutkan pendidikan demi menggapai cita dan asa. Di luar itu, dengan menjadi relawan pengajar, saya akan bisa lebih sering muncul di depan layar, tidak melulu menjadi pihak di balik layar yang tidak pernah terdokumentasi kenampakan wajahnya. Wuahahaha.

IMG_7399-01

Intinya, barangkali saya akan menyesal bila tak jadi hadir dalam Hari Inspirasi Purbalingga yang pertama ini. Bertemu dengan para relawan hebat dengan latar belakang profesi yang keren-keren, saling berbagi pengalaman dan cerita, saling bersenda gurau dengan bahasa ngapak, dan beragam aktivitas lain. Dari Kelas Inspirasi Purbalingga ini jugalah saya menjadi tahu, bahwa relawan tidak dibayar bukan karena tidak bernilai, melainkan karena mereka tidak ternilai.

Sekian.

Tetap semangat menginspirasi ya, teman-teman!

Leave a comment